رَبِّ
هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِيْنَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي
الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ
افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ.
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا
إِبْرَاهِيْمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِيْنُ.
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي اْلآخِرِيْنَ.
سَلاَمٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang
anak yang halim (cerdik dan bijaksana). Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, lakukanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri
dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran
keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu,’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)
‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.” (Ash-Shaffat: 100-109).
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
غُلاَمٍ حَلِيْمٍ
Seorang anak yang cerdik dan bijaksana. Yang dimaksud adalah di saat dia dewasa, dia memiliki sifat ini.
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa dari anak Ibrahim
‘alaihissalam yang dimaksud dalam ayat tersebut. Sebagian mengatakan
yang dimaksud adalah Ishaq. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian
salaf seperti Ikrimah dan Qatadah. Ada juga yang menukil dari beberapa
shahabat, di antaranya ‘Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu
Mas’ud, Umar bin Al-Khaththab, Jabir, dan yang lainnya radhiyallahu
‘anhum.
Sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah Isma’il ‘alaihissalam, dan
ini pendapat yang dinukilkan dari Abu Hurairah dan Abu Thufail Amir bin
Watsilah. Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhum. Dan ini pendapat Sa’id bin Musayyab, Asy-Sya’bi, Yusuf bin
Mihran, dan yang lainnya. Dan pendapat ini dikuatkan oleh para ahli
tahqiq seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Abdurrahman
As-Sa’di, Asy-Syinqithi, dan yang lainnya rahimahumullah. (Lihat Tafsir
Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Taisir Al-Karim Arrahman, Adhwa`ul Bayan, dan
Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 4/331-336)
Pendapat yang terkuat adalah yang kedua. Kuatnya pendapat ini ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama: bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan berita gembira
kepada Ibrahim ‘alaihissalam tentang anak yang akan disembelih. Kemudian
setelah menyebut kisahnya secara sempurna, Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjelaskan setelahnya berita gembira tentang lahirnya Ishaq
‘alaihissalam:
وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِيْنَ. وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ
“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq, seorang nabi
yang termasuk orang-orang yang shalih. Kami limpahkan keberkahan atasnya
dan atas Ishaq.” (Ash-Shaffat: 112-113)
Maka ini menunjukkan bahwa ada dua berita gembira, berita tentang anak yang akan disembelih serta anak yang bernama Ishaq.
Kedua: bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebut tentang kisah
penyembelihan kecuali pada surat Ash-Shaffat saja, sedangkan pada
ayat-ayat yang lain hanya disebutkan berita gembira tentang lahirnya
Ishaq secara khusus.
Ketiga: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوْبَ
“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami
sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari
Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.” (Hud: 71)
Kalau sekiranya yang disembelih itu Ishaq, tentu Ibrahim ‘alaihissalam
akan menganggap terjadinya penyalahan janji tentang munculnya Ya’qub
dari keturunan Ishaq ‘alaihissalam.
Keempat: bahwa yang disifati dengan sifat sabar adalah Isma’il ‘alaihissalam, seperti dalam firman-Nya:
وَإِسْمَاعِيْلَ وَإِدْرِيْسَ وَذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِنَ الصَّابِرِيْنَ
“Dan (ingatlah kisah) Isma’il, Idris, dan Dzulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Anbiya`: 85)
Dan masih ada lagi sisi penguat yang menunjukkan bahwa yang akan
disembelih adalah Isma’il ‘alaihissalam, bukan Ishaq ‘alaihissalam.
Syaikhul Islam rahimahullahu menjelaskan: “Yang wajib diyakini bahwa
yang dimaksud (ayat ini) adalah Isma’il. Dan inilah yang ditunjukkan
oleh Al-Kitab dan As-sunnah, serta penguat-penguat yang masyhur. Ini
pula yang disebutkan dalam Kitab Taurat yang ada di tangan ahli kitab,
di mana disebutkan padanya bahwa (Allah Subhanahu wa Ta’ala) berfirman
kepada Ibrahim:
اذْبَحِ ابْنَكَ وَحِيْدَكَ
“Sembelihlah anakmu yang satu-satunya.”
Dalam naskah yang lain: بَكْرَكَ (anak semata wayang dari ibu yang satu).
Dan Isma’il adalah anak satu-satunya yang dari satu ibu (pada masa itu)
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin dan ahli kitab. Namun ahli kitab
mengubah lalu menambah kata ‘Ishaq’, lantas dkutip oleh sebagian orang
dan menyebar di sebagian kaum muslimin bahwa yang dimaksud adalah Ishaq,
padahal asalnya adalah dari perubahan ahli kitab.” (Majmu’ Fatawa,
4/331-332)
Penjelasan Ayat
As-Sa’di rahimahullahu ketika menjelaskan ayat-ayat ini mengatakan:
“(Ibrahim berkata): ‘Wahai Rabb-ku, berikanlah aku seorang anak yang
termasuk dari kalangan orang-orang yang shalih’. Beliau mengucapkan itu
tatkala ia telah putus asa dari kaumnya di mana beliau tidak melihat
kebaikan pada mereka. Beliau pun berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
agar memberikan karunia kepadanya seorang anak yang shalih, yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberi manfaat baginya dalam kehidupan dan setelah
kematiannya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkannya dan
berfirman: ‘Maka Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan lahirnya
seorang anak yang cerdik dan bijaksana’, dan tidak ada keraguan bahwa
dialah Isma’il ‘alaihissalam. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyebutkan berita gembira setelahnya dengan lahirnya Ishaq
‘alaihissalam dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang
berita gembira lahirnya Ishaq ‘alaihissalam dengan firman-Nya:
وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوْبَ
“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami
sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari
Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.” (Hud: 71)
Sehingga ini menunjukkan bahwa Ishaq bukanlah yang akan disembelih. Dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi sifat Isma’il dengan kebijaksanaan,
yang mengandung kesabaran, akhlak yang baik, lapang dada, serta
memaafkan orang yang bersalah. Tatkala anak tersebut telah mencapai
waktu untuk bisa bekerja bersama ayahnya dan biasanya hal itu di saat
mencapai usia baligh, dia pun senang untuk melakukan yang terbaik untuk
kedua orangtuanya, telah hilang kesulitannya dan telah terasa
manfaatnya. Maka Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu,’ yaitu Allah Subhanahu
wa Ta’ala memerintahkanku untuk menyembelihmu. Karena mimpi para nabi
adalah wahyu, maka perhatikanlah apa pendapatmu, sesungguhnya perintah
Allah Subhanahu wa Ta’ala harus dijalankan.
Maka Isma’il ‘alaihissalam yang senantiasa bersabar dan mengharap
keridhaan Rabbnya serta berbakti kepada ayahnya berkata: ‘Wahai
ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, engkau akan
mendapatiku –insya Allah- termasuk di antara orang-orang yang bersabar.’
Dia mengabarkan kepada ayahnya bahwa dia telah menetapkan dirinya di
atas kesabaran dan menggandengkan hal tersebut dengan kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sebab tidaklah terjadi sesuatu tanpa kehendak-Nya.
Tatkala keduanya telah berserah diri, yaitu Ibrahim dan Isma’il anaknya,
dalam keadaan dia telah menetapkan untuk membunuh anak sekaligus buah
hatinya, sebagai wujud menaati perintah Rabbnya dan takut dari
siksaan-Nya, sedangkan sang anak telah menetapkan dirinya di atas
kesabaran, dan Ibrahim telah meletakkan Isma’il dengan membelakangi
wajahnya dan tengkuknya berada di atas, ia menidurkannya dan akan
menyembelihnya, wajahnya dibalik agar dia tidak melihat ke wajahnya di
saat penyembelihan. Kamipun memanggilnya dalam kondisi yang menegangkan
dan keadaan yang sangat mencekam itu: ‘Wahai Ibrahim,’ engkau telah
membenarkan dan melakukan apa yang diperintahkan kepadamu. Sesungguhnya
engkau telah menetapkan dirimu di atas hal tersebut, dan engkau telah
melakukan semua sebab, serta tidak ada yang tersisa kecuali melewatkan
pisau di atas tenggorokannya. Sesungguhnya Kami dengan itu membalas
orang-orang yang berbuat kebaikan dalam beribadah kepada Kami, yang
lebih mengutamakan keridhaan Kami daripada hawa nafsunya.
Sesungguhnya ujian yang kami berikan kepada Ibrahim ini benar-benar
merupakan ujian yang nyata, yang menjelaskan ketulusan Ibrahim, dan
kesempurnaan cintanya kepada Rabbnya serta menjadi khalil-Nya. Karena
tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan karunia Isma’il
‘alaihissalam kepada Ibrahim ‘alaihissalam, dia pun sangat mencintainya.
Padahal beliau adalah Khalilullah di mana khalil merupakan tingkatan
kecintaan yang tertinggi, dan itu harus murni dan tidak menerima adanya
penyetaraan, serta menghendaki agar seluruh unsur kecintaan tersebut
benar-benar terpaut kepada yang dicintai.
Tatkala ada satu unsur dari hati Ibrahim yang melekat pada diri Isma’il,
Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak memurnikan kecintaan Ibrahim
kepada-Nya dan menguji khalil-Nya. Maka Dia memerintahkan untuk
menyembelih orang yang kecintaannya telah mengusik kecintaan kepada
Rabbnya. Tatkala Ibrahim lebih mengutamakan kecintaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan lebih mendahulukannya di atas hawa nafsunya, serta bertekad
untuk menyembelihnya, hilanglah sesuatu yang mengusik dalam hatinya
tersebut, sehingga penyembelihan pun tidak berfaedah lagi.
Oleh karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya
benar-benar ini merupakan ujian yang nyata, dan Kami menebusnya dengan
sembelihan yang agung,’ yaitu diganti dengan sembelihan berupa kambing
yang agung yang disembelih Ibrahim. Keagungan kambing tersebut dari sisi
bahwa itu adalah tebusan dari Isma’il ‘alaihissalam di mana itu
termasuk di antara ibadah yang agung. Dan dari sisi bahwa hal itu
menjadi ibadah qurban dan sunnah hingga hari kiamat. Dan kami
meninggalkan untuknya pujian yang benar pada orang-orang belakangan
sebagaimana orang-orang terdahulu. Sehingga setiap yang datang setelah
Ibrahim ‘alaihissalam, senantiasa mencintai, mengagungkan, dan memuji,
‘keselamatan atas Ibrahim’ yaitu penghormatan atasnya. Seperti
firman-Nya:
قُلِ الْحَمْدُ لِلهِ وَسَلاَمٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِيْنَ اصْطَفَى آللهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas
hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik ataukah
apa yang mereka persekutukan dengan Dia?’.” (An-Naml: 59) [lihat Taisir
Al-Karim Ar-Rahman]
Telah diriwayatkan oleh Abu Thufail dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, dia berkata: “Tatkala Ibrahim ‘alaihissalam diperintah untuk
menyembelih anaknya, setan pun berusaha menggodanya ketika berada di
tempat sa’i, lalu berusaha mendahului Ibrahim. Namun Ibrahim berhasil
mendahuluinya. Jibril lantas membawa Ibrahim menuju jamratul ‘aqabah.
Setan pun kembali menggodanya. Beliau pun melemparnya dengan tujuh
kerikil, hingga setan itu pergi lalu menggodanya kembali di jamratul
wustha. Ibrahim pun melemparnya dengan tujuh kerikil. Dan di sanalah
Isma’il dibaringkan, dalam keadaan Isma’il memakai gamis berwarna putih.
Lalu ia (Ismail) berkata: ‘Wahai ayahku, aku tidak memiliki baju yang
mengafaniku selain ini, maka lepaslah agar ia menjadi kain kafanku.’
Ketika beliau hendak melepasnya, terdengarlah panggilan dari
belakangnya: ‘Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah menjalankan mimpimu.’
Ibrahim pun berbalik, ternyata ada seekor domba putih, bertanduk, dan
bermata lebar. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Sungguh kami
pernah menjual jenis domba seperti ini’.” (HR. Ahmad, 1/297, Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak, 1/638, Al-Baihaqi, 5/153, At-Thabari dalam
Tafsir-nya, 23/80. Al-Hakim menyatakan: “Hadits ini shahih berdasarkan
syarat Al-Bukhari dan Muslim; dan keduanya tidak mengeluarkannya.” Dan
dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat-Tarhib: 2, no. 1156)
Berqurban, Sebagai Bukti Pengorbanan
Ayat yang mulia ini menjelaskan betapa beratnya cobaan yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada Ibrahim ‘alaihissalam serta betapa
besarnya pengorbanannya sebagai bentuk pembuktian dirinya sebagai hamba
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berserah diri sepenuhnya, dan sebagai
khalilullah yang memurnikan kecintaannya hanya untuk-Nya. Dan ini
menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan cobaan
kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai jenis cobaan, untuk membuktikan
keimanan hamba tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلاَّ
اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ. لاَهِيَةً قُلُوْبُهُمْ وَأَسَرُّوا
النَّجْوَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا هَلْ هَذَا إِلاَّ بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
أَفَتَأْتُوْنَ السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُوْنَ
“Tidaklah datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur`an pun yang baru
(diturunkan) dari Rabb mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang
mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka
yang dzalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: ‘Orang ini tidak lain
hanyalah seorang manusia (juga) seperti kamu, maka apakah kamu menerima
sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?’.” (Al-Anbiya`: 2-3)
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).
Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)
Ibrahim ‘alaihissalam akhirnya memang tidak melaksanakan penyembelihan
terhadap anaknya, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ujian
tersebut bukan dalam rangka mewujudkan penyembelihan terhadap anaknya
tersebut, namun semata-mata untuk membuktikan kecintaan Ibrahim
‘alaihissalam yang murni hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini
mirip dengan kisah yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang tiga orang dari kalangan Bani Israil: orang yang
berpenyakit sopak, si botak, dan si buta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menguji mereka dengan mengutus seorang
malaikat, lalu mendatangi orang yang berpenyakit sopak, lalu bertanya:
“Apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Warna kulit yang indah,
kulit yang bagus, dan hilang penyakit yang karenanya manusia merasa
jijik dariku.” Maka malaikat itu pun mengusapnya, hingga hilanglah
penyakit tersebut dan ia diberi warna kulit yang indah. Lalu dikatakan
kepadanya: “Harta apa yang paling engkau sukai?” ia menjawab: “Unta.”
Maka ia pun diberi unta betina yang sedang bunting, dan dikatakan
kepadanya: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah untukmu.”
Lalu malaikat itu mendatangi si botak dan bertanya: “Apa yang paling
engkau sukai?” Ia menjawab: “Rambut yang indah dan hilangnya apa yang
membuat manusia merasa jijik dariku.” Malaikat itu pun mengusapnya
sehingga hilanglah botaknya dan dia diberi rambut yang indah. Lalu dia
ditanya: “Harta apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Sapi.” Maka
ia pun diberi sapi betina yang bunting. Lalu dikatakan kepadanya:
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah untukmu.”
Lalu malaikat itu mendatangi si buta, dan berkata seperti yang diucapkan
kepada yang sebelumnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan
penglihatannya dan diberi seekor kambing yang bunting.
Tidak lama kemudian harta mereka berkembang biak. Sehingga yang pertama
memiliki satu lembah unta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan
yang ketiga memiliki satu lembah kambing.
Lalu datanglah malaikat tersebut kepada orang yang pernah berpenyakit
sopak, dalam bentuk dan keadaannya yang dulu lalu berkata: “Aku orang
miskin. Aku sudah tidak punya bekal dalam perjalananku. Tidak ada yang
dapat melanjutkan perjalananku kecuali karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
kemudian karena engkau. Aku meminta kepadamu dengan nama Dzat yang telah
memberikan kepadamu warna kulit yang indah, kulit yang bagus, dan
harta, agar engkau berikan aku seekor unta sehingga aku dapat
melanjutkan perjalananku.” Ia menjawab: “Banyak hak-hak manusia yang
harus ditunaikan.” Si miskin berkata: “Sepertinya aku mengenalmu,
bukankah dahulu engkau berpenyakit sopak dan manusia merasa jijik
darimu, miskin, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ini semua
kepadamu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku mewarisi harta ini dari nenek
moyangku yang mulia secara turun-temurun.” Maka si miskin berkata: “Jika
engkau berdusta, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikanmu
seperti dulu. ”
Lalu ia (malaikat) mendatangi si botak dan berkata kepadanya seperti
yang dikatakan kepada sebelumnya, dan si botak pun menjawab seperti
jawaban orang sebelumnya (yang berpenyakit sopak). Maka ia (malaikat)
berkata: “Jika engkau berdusta, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengembalikan engkau seperti dulu.”
Lalu ia (malaikat) mendatangi si buta dalam bentuk dan keadaannya (yang
dahulu), kemudian berkata: “Aku orang miskin, yang kehabisan bekal dalam
perjalananku. Tidak ada yang menyampaikanku hari ini kecuali dengan
bantuan Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian bantuanmu. Aku meminta
kepadamu dengan nama Dzat yang telah mengembalikan penglihatanmu agar
engkau berikan aku seekor kambing yang dapat menyampaikanku dalam
perjalananku.” Maka ia menjawab: “Dahulu aku buta, lalu Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah harta mana yang
engkau inginkan dan tinggalkan yang mana yang engkau mau. Demi Allah,
aku tidak merasa berat padamu pada hari ini dengan sesuatu yang engkau
mengambilnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Maka malaikat itu
menjawab: “Jagalah hartamu, sesungguhnya kalian hanyalah diuji. Sungguh
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meridhaimu, dan murka terhadap dua
temanmu.” (Muttafaq ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits ini menunjukkan bahwa malaikat tersebut tidak berkeinginan untuk
mengambil harta si buta, namun hanya sekedar memberi ujian terhadap
kebenaran imannya. Dan hal tersebut telah terbukti. Semoga kita dapat
mengambil pelajaran dari kisah pengorbanan Ibrahim ‘alaihissalam ini.
0 comments:
Post a Comment